Pages

Friday, May 1, 2015

Bahaya yang Mengancam Pernikahan

Dalam suatu acara pernikahan, kami pernah bertemu seorang teman yang datang sendiri tanpa suaminya.

Belakangan, teman kami ini bercerita bahwa ia telah bercerai dengan suaminya. Ia mengatakan sudah salah menikah karena memilih pasangan yang memiliki karakter buruk, yaitu suka berselingkuh.



Pada waktu menjalin hubungan pacaran, ia sebenarnya sudah menangkap gejala pacarnya yang suka berbohong dan melirik wanita lain. Namun, ia cenderung mengabaikan dan mudah memaafkan karena rasa cintanya yang mendalam kepada pacarnya ini. Ia baru tersadar dan merasa terluka ketika ia melihat sendiri pacarnya berselingkuh dengan sahabatnya.

Hanya saja, dikarenakan perselingkuhan tersebut baru ia ketahui satu minggu sebelum acara pernikahannya dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan pihak keluarga yang sudah membantu membiayai acara pernikahannya, ia tetap melaju ke jenjang pernikahan.

Pernikahannya sendiri akhirnya hanya berjalan kurang dari satu tahun. Ia tidak tahan melihat perilaku suaminya yang suka berbohong dan berselingkuh sehingga meminta cerai.

Setiap orang yang ingin menikah pasti ingin memiliki pasangan yang tepat sehingga dapat memiliki hubungan yang bersinergi, mesra dan dapat bersama-sama membangun keluarga yang bahagia.

Namun, ini bukanlah hal yang mudah didapatkan. Banyak pasangan yang sudah menikah akhirnya bercerai dengan alasan tidak ada kecocokan lagi. Alasan lain adalah karena sudah tidak merasa cinta lagi setelah mengenal lebih dalam pasangannya. Bila pun tetap berada dalam lembaga pernikahan, pasangan yang merasa tidak cocok akhirnya menjalani hidup sesuai dengan kemauan dan gayanya masing-masing, tidak ada lagi kesatuan.

Mereka bertahan di lembaga pernikahan hanya karena alasan anak, menjalani ajaran agama atau takut mendapat sanksi sosial. Mereka menikah namun tidak merasakan kebahagiaan.

Perasaan yang menggebu-gebu karena cinta eros atau romantik yang dimiliki oleh pasangan yang sedang jatuh cinta seringkali mengaburkan penglihatan mereka akan sifat dan karakter pasangannya. Itu sebabnya, para pasangan yang masih berpacaran atau dalam masa pranikah perlu secara serius berpikir jernih dan obyektif untuk mengenal sifat atau karakter pasangan.

Sekalipun pasangan tampaknya memiliki kualitas rohani yang unggul, kita tetap harus mewaspadai sifat dan karakter buruk yang bisa mempengaruhi hubungan di depan. Sifat dan karakter adalah aspek jiwani dalam diri seseorang, maka perlu ditangani secara khusus juga, bukan diabaikan dengan pemikiran bahwa yang terpenting hanyalah memastikan aspek rohani senantiasa bertumbuh.

Berikut ini kami sajikan 5 sifat atau karakter buruk yang perlu dilihat/dideteksi pada diri calon pasangan, demi meminimalisir risikonya terhadap ikatan pernikahan kita kelak.

1. Suka mendominasi/mengontrol

Orang yang suka mendominasi dan mengontrol orang lain merasa tidak aman bila situasi tidak berjalan sesuai keinginan, harapan dan prediksinya. Maka, ia akan mengatur orang-orang di sekitarnya termasuk pasangannya untuk mengikuti apa yang ia mau.

Misalnya, melarang pasangannya ikut suatu kegiatan karena di kegiatan tersebut ada seseorang yang (tampaknya) menyukai pasangannya; ingin agar pasangannya berpenampilan sesuai dengan standarnya; dsb.

Bila keinginannya ini tidak diikuti, ia akan menjadi marah atau sebaliknya menunjukkan sikap rapuh dengan bergaya ngambek atau sedih yang membuat kita sebagai pasangannya tidak enak atau merasa bersalah. Ini pada akhirnya akan menjadikan kita seperti “boneka” atau “wayang”-nya, tersedot untuk terus memberi perhatian dan memenuhi keinginannya.

2. Pemarah

Orang yang mudah sekali marah kurang dapat mengelola emosinya sehingga cenderung mengekspresikannya secara destruktif. Orang ini mudah meledak, bahkan untuk hal-hal yang bagi orang lain secara umum merupakan hal yang sepele.

Misalnya, memaki-maki dengan suara keras (bahkan mungkin mengajak berkelahi) saat mobilnya diserempet oleh pengendara motor. Orang yang pemarah biasanya juga orang yang sulit tunduk pada otoritas (orang tua, kakak pembina, pendeta, atau figur otoritas lain).

Bila hubungan sudah lebih dekat, biasanya ia menekan pasangannya untuk mengikuti keinginannya juga melalui amarah, seperti seorang pengontrol di atas. Apabila ia sebagai pasangan / pacar sudah mulai menggunakan bahasa yang kasar, cercaan dan meremehkan kita, hal ini merupakan tanda bahaya yang perlu segera diwaspadai.

Jika ditoleransi (karena terlanjur cinta), kita akan diperlakukan lebih rendah lagi, misalnya yaitu dengan dipukul secara fisik (dalam pernikahan, hal ini dapat menjadi kekerasan dalam rumah tangga/KDRT).

Maka, kita harus bisa bersikap tegas sebelum ia menguasai kita. Namun bila sedang tidak marah, orang ini dapat bersikap sangat ramah, lembut, suka memberi dan menolong sehingga kita bisa “tertipu” masuk dalam perangkapnya.

3. Suka berbohong

Hal penting yang harus ada dan dibangun dalam suatu hubungan adalah kepercayaan. Kepercayaan membuat hubungan dengan pasangan menjadi sehat dan  kuat.

Orang yang suka berbohong kepada pasangan adalah orang yang sebenarnya tidak bisa membangun hubungan yang akrab dan intim dengan pasangannya. Mungkin saja, ia berbohong agar pasangannya tidak mengetahui keburukannya, karena khawatir membuat pasangan marah, dsb.

Sayangnya, dengan berbohong maka ia sebenarnya justru menjauh, menjaga jarak, menutup, dan membuat pasangannya tidak bisa lebih dekat dan mengenalnya dengan tepat.

Sifat bohong juga menandakan adanya keinginan untuk mementingkan diri sendiri, mengawali kecurangan dan pelanggaran komitmen dengan pasangan, berselingkuh, dll.

4. Malas

Firman Tuhan sendiri dalam Kitab Amsal memperingatkan agar kita jangan berteman dengan orang malas, dan orang malas bisa menjadi miskin.

Di dalam pernikahan tentu ada peran-peran yang akan kita jalani, misalnya sebagai kepala keluarga, ayah, ibu, atau sebagai mitra. Bila yang satu rajin sedangkan yang satu malas dalam menjalankan perannya, tentu hubungan tersebut menjadi tidak seimbang.

Orang yang malas menunjukkan bahwa ia adalah orang yang kurang bisa diandalkan dan kurang bertanggung jawab, serta cenderung tergantung atau menjadi beban dengan orang lain. Walaupun kemungkinan untuk miskin secara materi mungkin kecil, namun sifat malas akan membuat seseorang miskin secara mental, sehingga potensinya sulit berkembang dan di dalam keluarga tidak bisa menjadi teladan, misalnya untuk anak-anaknya kelak.

Sifat malas dapat kita deteksi antara lain dari perilakunya yang tidak mengerjakan apa yang kita minta, sering lupa, tampak kurang bersemangat dan tidak memiliki visi.

5. Narsis

Sifat narsis secara sederhana dapat digambarkan sebagai sifat yang mencintai diri sendiri yang tidak wajar atau tidak pada tempatnya (merasa dirinya penting atau hebat sekali walaupun sebenarnya biasa saja).

Orang ini berfokus pada diri sendiri dan merasa spesial, sehingga ingin diperlakukan khusus. Biasanya, orang semacam ini angkuh dan kurang bisa menerima kritik, kurang memiliki empati kepada orang lain atau kurang bisa mengerti perasaan dan emosi orang lain, karena kurang bisa melihat dari perspektif orang lalin.

Bila kita melihat cirri-ciri ini juga ada pada pasangan kita maka kita perlu waspada. Orang narsis tidak peduli dengan orang lain, sehingga otomatis ia pun tidak mampu membangun hubungan yang bersinergi dengan orang lain.

Dari sisi luar ia bisa tampak ramah bahkan suka membantu orang lain. Namun bila ditelusuri lebih lanjut maka segala yang ia lakukan adalah untuk  kepentingan atau kesenangannya sendiri.



Mengenal sifat dan karakter pasangan tidaklah mudah dan biasanya membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, sehingga perlu dilakukan sejak awal membangun hubungan pranikah.

Ketika menemukan sifat atau karakter buruk pada pasangan (atau pada diri sendiri, karena jangan-jangan kitalah pihak yang selama ini membahayakan/merusak hubungan-hubungan yang ada), kenali seberapa jauh/parah karakter buruk tersebut dan kenali kekuatan diri sendiri atau pasangan untuk bisa menerimanya seumur hidup nanti.

Jika karakter buruk itu berada pada tingkat yang membahayakan, dan kita sendiri atau pasangan memiliki keterbatasan untuk menerima atau mentolerir hal itu tanpa merasa terganggu, maka sebaiknya jangan menikah dulu sebelum sifat atau karakter buruk tersebut diperbaiki atau dibereskan.

Seperti contoh pada pernikahan teman saya di atas, sifat buruk pasangannya malah makin menjadi-jadi setelah menikah dan pada akhirnya membuat mereka bercerai juga. Itu sebabnya, sebelum menikah, bukalah mata dan pikiran kita untuk mengenal sifat dan karakter asli yang ada pada diri masing-masing.

Setelah mengetahui, ungkapkan dan bahas tersebut dengan pasangan. Idealnya, pasangan ataupun diri kita sendiri mau mengakui dan ada keinginan untuk berubah. Pada masa pranikah, setiap pasangan perlu saling membantu dan mengingatkan untuk memperbaiki sifat dan perilaku yang perlu diubah.

Jika tingkat atau kadar buruknya sudah lebih terlalu tinggi dan tidak dapat ditangani sendiri, terbukalah kepada orang yang ahli untuk membantu dengan konseling dan terapi agar perubahan berhasil terjadi.

Pendeknya, lakukan segala hal yang diperlukan agar perubahan terjadi dengan tuntas sebelum melangkah ke dalam tahap selanjutnya, yaitu pernikahan itu sendiri. Demi kelanggengan ikatan pernikahan kelak.

Sumber: artikel asli

No comments:

Post a Comment